COVID-19 memperburuk masalah ketersediaan air dunia

Air mempengaruhi seluruh aspek kehidupan, ekonomi, dan ekosistem. www.shutterstock.com

Cecilia Tortajada and Asit K. Biswas

THE CONVERSATION | June 10, 2020

Pandemi COVID-19 akan pasti menunda tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs), yang dicanangkan oleh PBB sebagai upaya berskala global untuk meningkatkan kualitas hidup miliaran orang di seluruh dunia, yang diharapkan dapat tercapai pada tahun 2030.

Peningkatan akses terhadap air bersih dan sanitasi merupakan salah satu di antara 17 tujuan SDGs. Akses terhadap air bersih memang sangat penting dalam kondisi normal sekalipun, apalagi pada masa pandemi.

Maka, kita harus memikirkan kembali apa saja cara yang dapat dilakukan agar tujuan-tujuan pada SDGs dapat tercapai. Untuk soal air bershi, kita semua harus berhenti memandang masalah ini hanya terjadi di negara berkembang – kelangkaan air bersih merupakan masalah global yang diperburuk karena kondisi ekstrem akibat pandemi ini.

BAGAIMANA COVID-19 MEMPERBURUK MASALAH AIR BERSIH

Selama pandemi ini berlangsung, berbagai kota di negara-negara berkembang menghadapi masalah kelangkaan air bersih, terutama di kawasan kumuh, pinggiran kota, dan kamp-kamp pengungsi.

Negara-negara di Afrika dan Asia Selatan, tempat dimana 85% dari populasi manusia tinggal, sedang menghadapi kesulitan yang besar dalam mengakses air bersih yang dapat diminum.

Tetapi, masalah ini tidak hanya dialami negara-negara berkembang. Negara-negara maju pun mengalami masalah serupa. Sejak terjadinya krisis air di Flint di Amerika Serikat pada tahun 2014 dan krisis air di Walkerton, Kanada pada tahun 2000, yang berdampak buruk pada kesehatan orang banyak, penduduk dari kedua negara ini pun menggunakan sistem point-of-treatment di masing-masing rumah mereka untuk membersihkan air. Mereka pun memilih untuk membeli air kemasan karena air kemasan dianggap lebih bersih dan aman.

Namun, dampak finansial akibat adanya lockdown dan meningkatnya angka pengangguran menjadi pemicu masalah baru pada banyak rumah tangga, karena mereka perlu mengeluarkan uang lebih agar dapat mengakses air bersih. Bahkan banyak orang yang kesulitan untuk membayar tagihan utilitas mereka, termasuk tagihan air.

Di Amerika Serikat, sekitar 57 juta orang di berbagai negara bagian dapat tetap mengakses air bersih, walaupun mereka tidak dapat membayar tagihannya. Namun, pada saat ini, masih banyak juga orang-orang miskin dan kurang beruntung yang tidak dapat mengakses berbagai layanan air, karena mereka telah mengalami kesulitan ini bahkan sejak sebelum adanya pandemi.

Di Uni Eropa, hampir semua negara anggotanya perlu menambah lebih dari 25% pengeluaran air dan sanitasi mereka setinggi 25% untuk memenuhi EU Drinking Water and Urban Wastewater Treatment Directives, atau arahan mengenai air minum dan pengolahan air limbah kota yang dikeluarkan oleh Uni Eropa. Hal ini tentunya berkontribusi dalam upaya memenuhi SDGs. Namun, pada masa penuh ketidakpastian seperti saat ini, Uni Eropa juga perlu memikirkan kembali tentang bagaimana cara agar negara-negara anggotanya dapat mencapai tujuan-tujuan mereka dengan sumber daya finansial yang terbatas.

Pandemi ini telah memperburuk kondisi kehidupan dan kesehatan orang banyak, baik di negara maju dan negara berkembang, dan hingga saat ini, masih belum jelas kapan situasi ini akan membaik. Bahkan, di negara kaya seperti Amerika Serikat setidaknya 2 juta orang masih belum dapat mengakses air keran.

PERLUNYA KEPEMIMPINAN

Sejak akhir tahun 1970an, PBB telah melakukan upaya advokasi untuk meningkatkan sumber air. Namun, istilah ini tidak selalu memiliki arti air bersih, walaupun organisasi-organisasi di bawah naungan PBB menggunakan kedua istilah ini secara bergantian.

Sejak pandemi COVID-19, perhatian dunia telah terpusat pada perlunya air bersih untuk mencuci tangan, minum, dan untuk kebersihan pribadi. Maka, mulai saat ini, para pemimpin politik harus juga memperhatikan kualitas air, bukan hanya kuantitasnya saja. Hal ini tugas yang berat bagi negara maju maupun berkembang, karena negara perlu mendapatkan kembali kepercayaan rakyatnya akan bersihnya air yang mereka peroleh untuk dikonsumsi atau untuk kebersihan pribadi. Hampir seluruh negara di dunia pernah mengalami masalah atau krisis pengelolaan air di masa lampau.

Dunia membutuhkan kepemimpinan, kebijakan yang berkelanjutan, sistem hukum, peraturan serta lembaga-lembaga yang kuat yang kuat serta layanan yang dapat diandalkan pada keadaan apapun.

Tidak adanya kepemimpinan politik yang baik di hampir semua negara di dunia, baik maju maupun berkembang, akan memperburuk masalah yang akan timbul dari kejadian yang sudah diprediksi–seperti perubahan iklim–maupun tidak terduga–seperti COVID-19 –dalam beberapa dekade ke depan.

Air mempengaruhi seluruh aspek kehidupan, ekonomi, dan ekosistem. Seperti yang pernah ditulis oleh seorang penyair asal Inggris-Amerika, W. H. Auden: “Banyak orang dapat hidup tanpa adanya cinta, namun tidak orang yang dapat hidup tanpa adanya air.”

Cecilia Tortajada,  Senior Research Fellow, Institute of Water Policy, Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore. Asit K. Biswas, Distinguished visiting professor, University of Glasgow.

This article was originally published in English