Asit K. Biswas, Cecilia Tortajada and Martin Stavenhagen
THE CONVERSATION | February 22, 2018
Urbanisasi telah menjadi tren kontinu pada abad ke-20 dan ke-21. Namun berkurangnya populasi (depopulasi) dan kebalikan dari urbanisasi (deurbanisasi) di beberapa negara dan kota telah menjadi masalah serius, sementara solusinya belum ditemukan.
Orang-orang pindah dari daerah perdesaan ke perkotaan untuk memperbaiki kehidupan mereka. Pada 1950, 30% populasi dunia tinggal di perkotaan. Satu abad kemudian, 66% populasi diperkirakan akan hidup di wilayah urban. Dalam hal jumlah absolut, perbedaannya gamblang. Pada 1950, 746 juta orang hidup di perkotaan, tapi pada 2046, diperkirakan akan ada lebih dari 6 miliar orang hidup di kota-kota.
Maka tidak heran, perhatian dunia memang berfokus pada proses urbanisasi yang melaju cepat seabad terakhir, yang disertai dengan serentetan implikasi pada bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan. Sebaliknya, deurbanisasi tidak mendapat banyak perhatian. Jika kita meng-Google “deurbanisation”, responsnya adalah “”Did you mean: urbanisation?” Padahal deurbanisasi sudah menjadi masalah sangat serius di beberapa negara.
Mengapa kota ‘menyusut’?
Deurbanisasi, atau kadang disebut “kota yang menyusut (populasinya)”, terjadi karena tiga hal utama. Pertama, ketika tingkat kesuburan suatu negara turun hingga di bawah 2,1. Maka populasi negara itu akan mulai berkurang, dan pada gilirannya populasi perkotaannya ikut berkurang. Tingkat kesuburan di Korea Selatan saat ini 1,17 dan di Jepang 1,44. Tanpa imigrasi, tingkat kesuburan 2,1 dibutuhkan untuk menjaga kestabilan jumlah populasi. Jika tren ini berlanjut, populasi Jepang diperkiran akan menurun dari 126,5 juta saat ini menjadi 88 juta pada 2065, dan 51 juta pada 2115, dan menjadi 0 pada pada 3000!
Kedua, di banyak kota, pekerjaan di beberapa sektor seperti manufaktur dan tambang menghilang. Misalnya, antara 1950 dan 2010, beberapa kota di Amerika Serikat berkurang jumlah penduduknya: St. Louis (62,7%), Cleveland (56,6%), dan Cincinnati (41,1%).
Ketiga, beberapa kota berkurang populasinya karena menipisnya sumber daya alam atau perubahan teknologi. Yichun, sebuah kota di bagian barat daya Cina, tidak jauh dari perbatasan dengan Rusia, awalnya bertumbuh menjadi kota yang sibuk setelah penebangan kayu besar-besaran yang tidak lestari. Belakangan pada 2012-2016, Yichun kehilangan 12% populasinya karena sumber daya alam yang menipis.
Pelajaran dari Cina
Pertumbuhan ekonomi Cina yang melahap sumber daya alamnya selama tiga dekade terakhir mengakibatkan 500 miliar ton sumber daya alam, mulai dari batu bara dan besi hingga emas, ditambang dari bumi setiap tahunnya. Menipisnya sumber daya alam dan kerusakan lingkungan menyumbang pada menyusutnya jumlah penduduk di banyak pusat kota.
Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional Cina telah melaporkan bahwa 50 dari 390 kota pertambangan di negara tersebut telah menghabiskan sumber daya alam yang bisa mereka manfaatkan secara ekonomi. Ini artinya ada 3 juta orang kehilangan pekerjaan, dan ini secara tidak langsung mempengaruhi 10 juta orang lagi.
Komisi ini telah menyematkan status pada 44 kota sebagai kota “tipis sumber daya”. Dengan menyandang status ini, kota-kota tersebut bisa mendapatkan anggaran dari pemerintah pusat untuk meremajakan dan merestrukturisasi ekonomi mereka dengan membuka lapangan pekerjaan dan memperbaiki kondisi lingkungan mereka. Ada banyak kota lain yang akan menyandang status khusus ini kecuali mereka memiliki strategi jangka panjang dalam mengelola sumber daya dan mengeluarkan kebijakan perlindungan lingkungan.
Perkembangan teknologi dan pertimbangan ekonomi juga menyumbang pada deurbanisasi. Misalnya, Khulna, kota terbesar ketiga di Bangladesh tumbuh 20 kali lipat antara 1950 dan 2000. Ketika industri serat jute (untuk membuat tambang) menurun, kota ini kehilangan lebih dari 150.000 orang (11% dari populasi) selama 2001 dan 2011.
Infrastruktur dan kota yang menyusut
Sepanjang sejarah, sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan urbanisasi, banyak jenis infrastruktur untuk air, energi, dan transportasi harus dibangun untuk memenuhi kebutuhan yang terus bertambah. Masyarakat di seluruh dunia selama berabad-abad sudah menguasai cara mengembangkan infrastruktur. Keahlian dan teknologi yang tidak main-main telah dikembangkan peradaban manusia untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat ini.
Apa yang kita hadapi sekarang adalah jenis yang sungguh lain dari masalah-masalah familier baik bagi negara berkembang maupun maju. Masalah tersebut adalah bagaimana mengurangi atau memperkecil infrastruktur yang sudah telanjur dibangun juga mencari model finansial yang bisa dipakai untuk mengoperasikan dan memelihara infrastruktur tersebut ketika populasi suatu kota sudah menyusut?
Misalnya, infrastruktur untuk suplai air dan pengelolaan limbah cair yang harus diperkecil skalanya, bisa jadi karena deurbanisasi, menipisnya sumber daya atau perkembangan teknologi. Hal ini terjadi di Leipzig, Jerman. Pada masa pasca 1990-an, banyak gedung di sana diperbaiki, yang mencakup pemasangan toilet dan shower yang hemat air, air ledeng. Fasilitas limbah cair juga ditingkatkan hingga 50% kapasitasnya.
Konsekuensinya, tarif air dinaikkan untuk mendanai ekspansi infrastruktur yang memang dibutuhkan saat itu. Selain itu, kebocoran ditangani dan sistem hemat air ini telah mengubah persepsi orang atas konservasi air, mendorong mereka lebih hemat. Infrastruktur dirancang untuk menyediakan 200 liter air bersih per orang per hari tapi dengan penghematan kebutuhan turun menjadi 92 liter. Jumlah pengguna dan penggunaan yang menurun, juga kebutuhan air dari sektor industri yang menurun secara total membuat kebutuhan air Leipzig berkurang dari 700.000 m3 ke 165.000 m3 per hari. Ini artinya kebutuhan air bersih Leipzig kembali ke era 1940-an, tapi jaringan pipanya jauh lebih besar dari itu.
Hal ini membuat masalah baru. Permintaan akan air yang lebih rendah mengakibatkan air berdiam di pipa lebih lama, dan meningkatkan risiko bakteri tumbuh dan kontaminasi mikroorganisme, dan tentu ancaman kesehatan.
Menurunnya penggunaan air artinya produksi limbah cair yang berkurang. Akibatnya sedimentasi di saluran limbah lebih cepat terbentuk karena alirannya melamban. Maka air bersih harus disiramkan ke sistem limbah secara berkala untuk pemeliharaan.
Akhirnya, biaya operasional dan pemeliharaan layanan air Leipzig meningkat, sehingga biaya investasi jangka panjang untuk merestrukturisasi sistem air meningkat, sejalan dengan menurunnya konsumsi dan pendapatan.
Masalah lain adalah tekanan finansial serius yang tak terduga ini telah memaksa badan layanan air untuk memusatkan perhatian pada upaya-upaya perbaikan teknis yang diakibatkan oleh penurunan penggunaan. Ini artinya badan layanan menurunkan prioritas bagi kegiatan-kegiatan operasional dan pemeliharaan, dan ini bisa berdampak pada keberlanjutan sistem.
Masalah lain yang semakin serius dihadapi negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan dan banyak kota lain saat ini adalah bagaimana merampingkan infrastruktur untuk menyesuaikan dengan menurunnya permintaan dari warga dan industri. Kota-kota sejahtera seperti Singapura sekarang harus menggabungkan sekolah-sekolah karena jumlah murid berkurang. Sementara semua kota-kota “tipis sumber daya” di Cina akan harus menghadapi persoalan berkait bagaimana menyeimbangkan infrastruktur mereka dengan permintaan yang menurun.
Isu ini membutuhkan perhatian dari pembuat kebijakan dan peneliti, terutama di negara-negara yang masalah deurbanisasinya sudah lebih serius ketimbang urbanisasinya. Urbanisasi memang masih menjadi pertimbangan serius yang harus dipikirkan semua negara berkembang. Tapi sejumlah kota-kota malah mengalami penyusutan jumalh penduduk dan menemukan diri mereka telah membangun infrastruktur yang lebih besar dari yang mereka butuhkan sekarang.
Isu ini belum menjadi perhatian pembuat kebijakan dan akademisi padahal dalam 10 tahun ke depan kita sudah harus menemukan solusi berbiaya rendah. Ini bukan tugas enteng tapi solusi yang bersifat jangka panjang dari segi operasional dan keuangan harus segera ditemukan.
Asit K. Biswas, Distinguished Visiting Professor, Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore. Cecilia Tortajada, Senior Research Fellow, Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore. Martin Stavenhagen, Climate, Energy and Water Policy Consultant, National University of Singapore.
This article was published by THE CONVERSATION, February 22, 2018.