Dari Malaysia sampai Malang: bagaimana kisah korupsi merajalela dari nenek moyang hingga zaman modern (Indonesian)

Keberadaan korupsi setua sejarah manusia itu sendiri. www.shutterstock.com

Asit K. Biswas, Cecilia Tortajada and Bimal Pratap Shah

THE CONVERSATION | September 7, 2018

Korupsi telah ada sejak dinasti Mesir dan masih bertahan di hampir seluruh negara di penjuru dunia.

Setelah skandal korupsi besar di Malaysia dan Brazil, Indonesia baru saja menyaksikan salah satu daerahnya kehilangan lebih dari 90% anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-nya akibat kasus gratifikasi.

Melihat kembali pada sejarah, korupsi adalah bagian yang tidak dapat terelakkan dari sifat manusia. Apa yang bisa kita lakukan untuk meminimalkan kerugiannya?

MITOS KUNO TENTANG KORUPSI

Kamus Oxford mendefinisikan korupsi sebagai “perbuatan tidak jujur atau bersifat menipu oleh mereka yang memiliki kuasa, biasanya melibatkan penyuapan.”

Korupsi berasal dari sebuat kata dalam Bahasa Latin: corruptus. Kata untuk bentuk lampaunya corrumpere, yang berarti “merusak, suap, menghancurkan.”

Praktik korupsi setua sejarah manusia itu sendiri. Dinasti pertama Mesir (3.100-2.700 SM), adalah pemerintahan paling awal yang tersedia dokumennya yang mencatat korupsi dalam peradilannya.

Praktik korupsi juga telah ada sejak zaman Cina Kuno. Mitologi Cina percaya bahwa setiap rumah tangga memiliki seorang Dewa Dapur yang mengawasi perilaku dari setiap anggotanya. Seminggu sebelum Tahun Baru Cina, Dewa Dapur akan naik ke surga untuk memberikan laporan tahunannya pada Kaisar Giok, Sang Penguasa Surga.

Kaisar Giok kemudian menghadiahi atau memberi hukuman pada tiap keluarga berdasarkan laporan Dewa Dapur. Sebelum Dewa Dapur memulai perjalanannya menuju surga, banyak rumah tangga yang melumuri mulut Dewa Dapur dengan kue dari gula dan madu sebagai usaha untuk menutup mulutnya dan menyuapnya untuk memberikan laporan yang baik pada Kaisar Giok.

Dalam nada yang sama, sejarawan Yunani Herodotus mencatat Keluarga Alcmaeonid menyuap pendeta perempuan Oracle Delphi, salah satu penguasa mistis di Yunani Kuno. Mundur ke belakang hingga 1.400 SM, orang-orang di seluruh Yunani dan sekitarnya datang untuk menanyakan masalahnya pada Pythia, Pendeta Agung Apollo.

Keluarga Alcmaeonid yang kaya raya menawarkan untuk membangun kembali Kuil Apollo yang hancur akibat gempa bumi dengan sangat loyal menggunakan “marmer Parian”. Sebagai imbalannya, Pythia meyakinkan negara bangsa Sparta untuk membantu keluarga tersebut menaklukkan dan menguasai Athena. Karena hal tersebut berhasil, Aristoteles bahkan mencatat bahwa para Dewa pun bisa disuap!

KORUPSI DI PENJURU DUNIA

Dengan berkembangnya ekonomi global secara signifikan selama abad ke-20, tingkat korupsi pun turut naik. Sayangnya, sangat sulit untuk mengestimasi besar dan luasnya korupsi secara global karena baik penyuap maupun penerima suap memiliki kepentingan pribadi untuk memastikan bahwa kegiatan ini tetap rahasia dan diam-diam.

Tingkat korupsi luar biasa tinggi. Bank Dunia memperkirakan penyuapan pada saat ini telah melampaui US$1,5 triliun (sekitar Rp22.000 triliun) setiap tahunnya, 2% dari GDP global dan 10 kali dari bantuan pembangunan luar negeri global. Pihak lain mengestimasi jauh lebih besar, sekitar 2-5% dari GDP global.

Korupsi meresap di seluruh lapisan masyarakat, mulai dari suap kecil pada pegawai negeri tingkat rendah hingga praktik korupsi besar-besaran oleh banyak pemimpin negara.

Transparansi Internasional memperkirakan bahwa mantan Presiden Indonesia Suharto menilap antara US$15-35 miliar. Mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos, Mobutu Sese Seko dari Zaire dan Sani Abacha dari Nigeria mungkin telah menggelapkan masing-masing sebesar US$5 miliar.

Skandal korupsi terbesar Brazil, dengan kode nama Lava Jato (pencucian mobil), mengungkapkan jaringan korupsi yang luas dalam tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan kerumitan yang luar biasa. Jajaran direksi Petrobas, perusahaan minyak nasional Brazil, menggunakan dana gelap untuk menyuap para politikus yang telah menunjuk mereka guna menyokong kampanye pemilu koalisi pemerintah yang sedang berkuasa.

Lava Jato menjerat politikus dan para pemimpin bisnis dari 11 negara, mulai dari Brazil hingga Peru. Skandal ini juga menjungkalkan presiden paling populer di Brazil, Luiz Inácio Lula da Silva, yang saat ini menjalani hukuman 12 tahun penjara. Kasus ini juga bertanggung jawab memaksa mantan Presiden Peru Pedro Pablo Kuczynski untuk mengundurkan diri ketika dihadapkan dengan mosi tidak percaya.

Kasus besar lainnya terjadi baru-baru ini di Malaysia. Mantan Perdana Menteri Najib Razak saat ini sedang diselidiki atas keterlibatannya dalam penyalahgunaan dana dari perusahaan strategis Malaysia, 1Malaysia Development Berhad (1MDB) yang ia pimpin. Departemen Kehakiman Amerika Serikat menuduh bahwa dana US$4,5 miliar dari 1MDB telah disalahgunakan.

Departemen tersebut telah mengajukan gugatan untuk menyita aset senilai US$1,7 miliar di Amerika. Gugatan tersebut merujuk pada Najib sebagai “Pejabat Malaysia 1” yang diyakini menerima lebih dari US$1 miliar dari dana 1MDB.

Najib, yang dituduh menggunakan sebagian dari dana tersebut untuk membeli perhiasan bagi sang istri, membantah segala tuduhan. Malaysia, AS, Swiss, dan Singapura kini menyelidiki bagaimana miliaran dolar bisa hilang dari 1MDB dan siapa saja yang menerima uang curian tersebut.

Meskipun Lava Jato dan 1MDB adalah kasus korupsi terbaru yang melibatkan para pemimpin nasional, mereka tidak unik. Pada 2015, Presiden Guatemala Otto Pérez Molina dipaksa mengundurkan diri setelah Kongres meruntuhkan imunitasnya karena dugaan keterlibatannya dalam skema korupsi besar yang melibatkan dinas bea cukai nasional.

Di Afrika Selatan, Kongres Nasional Afrika memecat Presiden Zuma tahun ini. Saat ini ia menghadapi pemulihan hak atas tuduhan korupsi, kecurangan, pencucian uang, dan pemerasan.

Pada 2017, Korea Selatan memakzulkan Presiden Park Geun Hye atas tuduhan penyuapan dan tuduhan lain. Pada 2018, ia dihukum karena menyalahgunakan kekuasaan, pemaksaan, serta penyuapan dan dipenjara selama 24 tahun.

KORUPSI SEBAGAI GAYA HIDUP

Korupsi telah menjadi gaya hidup di banyak negara. pada 2011, Transparansi Internasional (TI) melaporkan bahwa dua dari tiga orang Bangladesh dan lebih dari separuh orang India memberikan suap selama 12 bulan terakhir.

Pada 2017, lebih jauh lagi dilaporkan bahwa secara global 1 dari 4 orang menyuap dalam 12 bulan terakhir untuk mengakses pelayanan publik. Hampir 57% orang dari seluruh dunia merasa bahwa pemerintahnya melawan korupsi secara buruk. Hanya 30%-nya yang merasa bahwa pemerintahnya telah melakukannya dengan baik.

Dalam studi lain yang dilakukan oleh TI pada 2017 menunjukkan bahwa secara global, sekitar sepertiga dari orang di dunia memandang bahwa presiden, perdana menteri, pegawai negeri daerah ataupun nasional, pemimpin bisnia, anggota parlemen dan polisi melakukan korupsi.

Secara mengejutkan, polisi dipandang paling korup di negara Afrika Sub-Sahara (47%) dan Asia Pasifik(39%). Hal ini adalah tuduhan yang merusak dalam tingkat global dan luasnya persepsi korupsi pada masa dari homo corruptus (orang-orang yang sangat dimanjakan dan merusak).

DAMPAKNYA

Korupsi sangat menghambat pengentasan kemiskinan dan pembangunan ekonomi. Pada 2017, hampir 10% orang Asia, sekitar 400 juta orang, hidup dalam kemiskinan ekstrem. Korupsi secara terus-menerus menyedot dana pembangunan secara signifikan yang harusnya ditujukan untuk pegentasan kemiskinan. Negara-negara seperti Bangladesh, Cina, India, Indonesia, Malaysia, Nepal, Thailand, dan Filipina menghadapi masalah korupsi yang menjalar di mana-mana.

Bank Dunia memperkirakan jika negara berkembang bisa mengontrol korupsi dan hukum bisa ditegakkan, maka pendapatan per kapita bisa meningkat hingga empat kali lipat dalam jangka panjang. Rata-rata sektor bisnis meningkat sekitar 3%. Korupsi juga merupakan pajak de-facto atas investasi langsung asing sebesar sekitar 20%. Mengontrol korupsi dapat meningkatkan banyak indikator sosio-ekonomi, termasuk mengurangi angka kematian bayi 75%.

APA YANG BISA KITA LAKUKAN?

Sistem finansial internasional telah memungkinkan pejabat publik untuk menyembunyikan harta yang ia dapatkan secara ilegal di negara-negara suaka pajak. Pada 2014, Panama Papers membocorkan lebih dari 11,5 juta arsip.

Dokumen itu menunjukkan bahwa dua pemimpin negara di antara 143 politikus, keluarganya dan rekan dekatnya dari seluruh dunia menggunakan suaka pajak di negara-negara lepas pantai untuk menyembunyikan kekayaan mereka.

Begitupun dengan Paradise Papers membocorkan 13,4 juta arsip dari dua perusahaan penyedia jasa offshore yang berbeda dan 19 perusahaan registrasi suaka pajak Dokumen tersebut membongkar kegiatan di kawasan lepas pantai lebih dari 120 politikus dan pemimpin dunia serta rekayasa keuangan lebih dari 100 perusahaan multinasional.

Mengontrol korupsi membutuhkan penguatan institusi dan penegakan hukum yang tepat seperti yang telah ditunjukkan oleh beberapa negara seperti Singapura.

Mendiang Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, pernah berkata bahwa korupsi merupakan hal biasa dalam pelayanan sipil selama masa kolonial. Ketika partainya berkuasa, para pemimpinnya mengabadikan anti-korupsi sebagai prioritas pembangunan karena dianggap sebagai prasyarat untuk pemerintahan yang baik.

Bahkan kemudian, Keppel Offshore dan Marine, sebuah unit konglomerat Keppel Corporation di Singapura, membayar denda mengejutkan sebesar US$422 juta kepada pemerintah AS, Brazil, dan Singapura untuk pembayaran suap sebesar US$55 juta kepada Petrobras dan Sete Brasil. Suap tersebut dibayarkan antara 2001 dan 2014 untuk memenangkan 13 kontrak.

Presiden Cina Xi Jinping telah mendeklarasikan perang terhadap korupsi yang menargetkan “macan dan lalat”, merujuk pada pejabat senior hingga pegawai tingkat rendah. Banyak politikus dan birokrat Cina yang sebelumnya dianggap tidak tersentuh, sekarang mendekam di penjara karena korupsi.

Di India, sebenarnya tidak ada pemimpin politik besar yang telah dipenjara akibat korupsi serius. Hal ini memberikan banyak politikus dan birokrat senior yang berkuasa sebuah lisensi bebas untuk mencuri. Sebuah laporan TI pada 2017 mencatat sekitar 70% dari orang India yang mengakses pelayanan publik harus memberikan suap.

Meski begitu, sisi baiknya lebih dari separuh orang India setuju dengan usaha pemerintahnya untuk melawan penyuapan. Namun lebih dari 40%-nya merasa bahwa korupsi justru meningkat selama 12 bulan terakhir.

Negara maju pun tidak kebal dari korupsi. Contoh yang begitu populer adalah manajer kampanye Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Paul Manafort. Dia telah didakwa atas delapan penggelapan pajak dan bank dan tuduhan lain yang akan disidangkan.

Pengacara pribadi Trump, Michael Cohen, mengaku bersalah atas delapan pelanggaran hukum keuangan perbankan, pajak, dan kampanye. Semua yang dibuktikan tersebut bisa jadi hanya puncak dari gunung es. Aktivitas yang lebih tinggi lagi mungkin akan muncul dalam beberapa bulan ke depan.

Gandhi berkata: “Dunia ini cukup untuk kebutuhan semua orang, namun tidak cukup bagi kerakusan setiap orang.” Semakin berkembangnya ekonomi dunia, potensi terjadinya korupsi pun semakin meningkat.

Korupsi tidak akan bisa dihilangkan. Suka atau tidak, tindakan buruk ini selalu menjadi bagian dari manusia, dan akan terus menjangkiti masyarakat. Dengan terus berlanjutnya masa homo corruptus, jalan terbaik yang bisa dilakukan oleh negara manapun adalah menjaganya tetap pada kondisi minimal.

Asit K. Biswas, Distinguished Visiting Professor, Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore. Cecilia Tortajada, Senior Research Fellow, Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore. Bimal Pratap Shah, an independent consultant from Kathmandu, Nepal, contributed to this article.

This article was originally published in English