Teknologi dan robot akan guncang kebijakan ketenagakerjaan di Asia dan dunia

Negara-negara berkembang harus dengan serius mulai mempertimbangkan bagaimana perubahan teknologi akan berdampak ke tren tenaga kerja. www.shutterstock.com

Asit K. Biswas and Kris Hartley

THE CONVERSATION | January 23, 2019

Di abad ke-21, pemerintah tidak bisa mengabaikan peran teknologi dalam mempengaruhi ketenagakerjaan dan stabilitas politik.

Otomatisasi pekerjaan–terutama lewat teknologi robot, kecerdasan buatan (AI), dan Internet of things (IoT), yang secara kolektif dikenal sebagai Revolusi Industri Keempat–akan meningkatkan produktivitas dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di sisi lain, hal ini juga akan mengancam pekerjaan para pekerja yang memiliki keterampilan rendah dan menengah di banyak negara berkembang.

DARI TENAGA KERJA KE OTOMATISASI

Negara-negara berkembang harus dengan serius mulai mempertimbangkan bagaimana perubahan teknologi akan berdampak kepada tren ketenagakerjaan. Teknologi kini muncul sebagai sebuah kekuatan besar yang mengacaukan tatanan yang sudah ada, bahkan mungkin lebih besar dari kekuatan kapital global.

Cina yang selama puluhan tahun telah berkontribusi besar pada ekonomi dunia dengan memproduksi produk manufaktur, kini menjadi produsen yang menjadi kompetitor produk Apple, peralatan rumah tangga, dan teknologi. Dalam prosesnya, Cina telah membuat kemajuan bersejarah dengan mengeluarkan banyak rakyatnya dari kemiskinan.

Cina mencapai kemajuan tersebut dengan meningkatkan produktivitas tenaga kerja lewat teknologi dan peningkatan keterampilan tenagat kerja (upskilling), hingga peningkatan upah.

Namun, tren ini juga membuat perusahaan memindahkan pabrik yang membutuhkan keterampilan rendah ke Asia Tenggara. Perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina dapat memperburuk tren ini.

Perpindahan lokasi pabrik ini menguntungkan bagi pekerja di negara seperti Vietnam dan Indonesia. Namun, perlombaan antara perusahaan dalam pencarian tenaga kerja yang paling murah memberikan ketidakpastian dalam pertumbuhan jangka panjang di negara mana pun.

Pemerintah di negara-negara berkembang harus mulai mengarahkan keuntungan dari biaya tenaga kerja yang rendah kepada investasi infrastruktur, peningkatan kualitas industri, dan peningkatan keterampilan tenaga kerja. Cina telah melakukan ini lebih baik dari banyak negara lain.

Berkembangnya kecanggihan dan nilai komersial peralatan robot, IoT, dan teknologi otomatisasi lain akan berdampak pada semua pekerjaan. Lebih luasnya, dampak dari kemajuan teknologi ini dapat mendorong perusahaan untuk memindahkan pabriknya karena biaya tenaga kerja yang tinggi.

MENGUKUR DAMPAK POLITIK

Setelah globalisasi selama puluhan tahun, ekonomi tanpa batas telah muncul di mana modal dan produksi bergerak bebas ke negara-negara dengan keuntungan investasi paling besar dan biaya produksi terendah. Ini telah mendorong pola restrukturisasi ekonomi global yang memberikan kesempatan pertumbuhan untuk negara-negara berkembang.

Para pekerja meraih manfaat dari perubahan ini dengan peningkatan pendidikan dan keterampilan, sementara jutaan orang telah diangkat dari kemiskinan.

Dengan adanya kemajuan teknologi dan dampaknya terhadap kehidupan, sekarang waktunya untuk memikirkan bagaimana perkembangan global berdampak secara politis. Otomatisasi akan menjadi kekuatan yang begitu mengacaukan pertimbangan ekonomi, sosial, dan politik. Hanya sedikit negara–maju maupun berkembang–yang akan lolos dari tantangan ini.

Beberapa negara Barat, termasuk Amerika Serikat, sudah mengalami gerakan politik populis akibat hilangnya mata pencaharian para tenaga kerja dengan kemampuan menengah yang sebelumnya tidak terjadi. Konflik serupa dapat muncul di negara-negara yang sudah lama terlibat dalam politik nasionalis, termasuk India.

Bertumbuhnya populasi dan otomatisasi pekerjaan akan bersinggungan hingga menghasilkan krisis pengangguran yang dapat berdampak buruk bagi stabilitas politik domestik.

Dengan sistem pendidikan membanjiri pasar tenaga kerja dengan lulusan-lulusasn ambisius, salah satu tantangan terbesar pemerintah ialah bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan dengan penghasilan yang layak.

Selanjutnya, tenaga kerja yang rentan kehilangan pekerjaannya tidak hanya para pekerja yang baru bekerja tetapi juga pekerja yang berpengalaman, beberapa akan terus meningkatkan keahliannya untuk mengantisipasi kesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

Di India, lebih dari 1 juta orang memasuki usia produktif tiap bulannya. Lebih dari 8 juta pekerjaan baru dibutuhkan tiap tahunnya untuk memastikan tingkat pengangguran tidak bertambah.

Populasi muda India semakin pesimis terhadap prospek kerja mereka. Meskipun hasil statistik resmi tidak dapat diandalkan, namun saat ini sebagian besar pekerjaan di India terjadi di sektor informal seperti pembantu, kuli, pedagang kaki lima, dan pekerjaan serabutan tanpa kontrak. Hal ini dapat mengindikasikan India mungkin akan menghadapi pertumbuhan angka pengangguran di masa depan.

Tingkat keterampilan yang rendah di banyak angkatan kerja memperlambat usaha India untuk mempercepat pertumbuhan di lapangan pekerjaan yang memiliki produktivitas tinggi. Dengan demikian, perusahaan manufaktur skala besar India–baik milik India atau negara lain–berpaling ke tenaga robot untuk memastikan sistem produksi yang konsisten, dapat diandalkan, dan efisien.

Urbanisasi juga menambah masalah ketenagakerjaan India. Prospek pekerjaan bergaji tinggi telah memikat banyak tenaga kerja dari desa ke kota, tapi kebanyakan pekerja ini buta huruf dan tidak memiliki keahlian yang cukup. Hal seperti ini tidak terlalu menjadi masalah sebelumnya, tenaga kerja ini bisa mendapat pekerjaan kasar di pabrik. Namun, keberadaan robot telah menggantikan pekerja migran ini.

MENUJU MASA DEPAN DENGAN PENGHIDUPAN STABIL

Yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah ekonomi-sosial ialah menggantikan pekerjaan yang hilang. Menurut The World Economic Forum (WEF), “ketimpangan merupakan keprihatinan masyarakat terbesar yang terkaitan dengan Revolusi Industri Keempat.”

Bagaimanapun, WEF dan lainnya telah memberikan sedikit petunjuk bagaimana menghadapi tantangan ini. Bagaimana seharusnya ekonomi menyerap pekerja yang digantikan oleh teknologi?

Banyak orang menginginkan pergerakan ekonomi dan sosial lebih banyak dari sebelumnya, apalagi ketika mereka melihat kekayaan yang meningkat gila-gilaan di sekitar mereka–di jalan, di berita, dan di antara teman-teman dan rekan kerja yang beruntung. Sayangnya, keinginan ini kebanyakan tidak akan terpenuhi.

Satu cara untuk maju ialah lewat peningkatan keterampilan dengan melatih pekerja kembali untuk mengoperasikan dan menjaga sistem teknologi. Namun, hal ini seperti paradoks, pekerja ini akan melatih robot untuk menggantikan pekerjaan manusia. Jika pendorong utama dari otomatisasi ialah pengurangan atau penghapusan biaya tenaga kerja, kita tidak bisa berharap semua pekerja yang digantikan robot akan terus mendapatkan kesempatan kerja yang stabil.

Meski ada janji-janji politik tentang pertumbuhan ketenagakerjaan dari industri berteknologi tinggi dan transformasi teknologi di sektor primer, masalah yang disebabkan oleh efisiensi teknologi dan hilangnya kesempatan kerja tak dapat dipungkiri, bahkan mungkin tidak dapat ditemukan cara penyelesaian pastinya.

Masyarakat telah bereaksi negatif terhadap restrukturisasi ekonomi global dengan menggunakan unsur nasionalisme, rasisme, militerisme, dan perlindungan ekonomi yang sewenang-wenang. Para politisi yang oportunis telah memanfaatkan retorika reaksioner ini untuk mendapatkan kekuasaan, melawan apa yang disebut mantan kepala strategis Gedung Putih Steve Bannon sebut dengan “tatanan internasional liberal pascaperang.” Di saat yang sama, solusi “kekirian” seperti upah minimum universal menghadapi tantangan fiskal dan politik yang signifikan.

Abad ke-21 akan terus menghadapi gangguan terhadap dunia kerja yang stabil berkat kemajuan teknologi dan liberalisasi yang terus dilakukan oleh pemilik modal dan proses produksi global. Indikasi awal tentang bagaimana negara-negara akan menghadapinya–serampangan dan tanpa strategi jangka panjang–menunjukkan hasilnya tidak begitu menggembirakan.

Asit K. Biswas, Visiting Professor, University of Glasgow. Kris Hartley, Assistant Professor, The Education University of Hong Kong.

This article was published by THE CONVERSATION, January 23, 2019.